Teori Organisasi Umum 1 #
Organisasi Regional
Anggota kelompok
Arif Dwi Syahputra 11111131
Bagus Dwi Saputro 18111649
Joko Riyanto 13111885
Muhammad Darmawan Juans 14111727
Sendi Permana 16111668
Universitas Gunadarma
Sistem Informasi
Kata
Pengantar
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat-Nya kami masih diberikan kesempatan untuk menyelesaikan tugas ini. Dan
kami mengucapkan terimakasih kepada teman teman yang telah memberi dukungan
kepada kami dalam menyelesaikan tugas ini. Semoga hasil kerja kami dapat
bermanfaat bagi kalian.
Bagus
dkk.
ORGANISASI
REGIONAL
Struktur Organisasi adalah suatu susunan dan
hubungan antara tiap bagian serta posisi yang ada pada suatu organisasi atau
perusahaan dalam menjalankan kegiatan operasional untuk mencapai tujuan yang di
harapakan dan di inginkan. Struktur Organisasi menggambarkan dengan jelas
pemisahan kegiatan pekerjaan antara yang satu dengan yang lain dan bagaimana
hubungan aktivitas dan fungsi dibatasi. Dalam struktur organisasi yang baik
harus menjelaskan hubungan wewenang siapa melapor kepada siapa, jadi ada satu
pertanggung jawaban apa yang akan di kerjakan.
Mungkin kita tidak akan bisa hidup jika tidak
ada sebuah organisasi Karena organisasi juga sebagai tampat kita berbagi duka
dan senang dengan anggotanya mencari teman dan hal positif – positif lainnya .
Jika organisasi itu negatif maka tinggalkan lah . Harus mencari organisasi –
organisasi yang benar – benar positif dan sesuai dengan visi misi .
RUANG LINGKUP ORGANISASI REGIONAL
Peran yang dimainkan oleh
organisasi-organisasi regional sangat berbeda bergantung pada karakteristik
organisasi tersebut. Karakteristik ini dipengaruhi oleh faktor geografis,
ketersediaan sumber-sumber dan struktur organisasi. Perbedaan faktor-faktor ini
akan mempengaruhi bentuk Organisasi Regional dan organ-organ yang menopangnya.
Perbedaan karakter ini juga nantinya akan berpengaruh pada mekanisme dan
prosedur penyelesaian konflik yang ditempuh untuk menyelesaikan sengketa antara
anggota dalam sebuah Organisasi Regional.
Uni Eropa, Organisasi Regional paling maju
saat ini, memiliki European Court of Justice, organ khusus yang bertanggung
jawab atas setiap upaya penyelesaian sengketa antara negara-negara anggota Uni
Eropa, yang yurisdiksinya mencakup seluruh negara anggota, organ-organ penting
dalam masyarakat dan warga negara sah dari negara-negara anggota. Hal ini
dijelaskan dalam the Treaty of Amsterdam (1997) yang mulai diberlakukan pada
tahun 1999.
Pakta Pertahanan Atlantik Utara (North
Atlantic Treaty Organisation – NATO) yang didirikan pada tahun 1949 juga
memiliki prosedur penyelesaian konflik antara negara-negara anggotanya. Pada
1956, organ utama NATO, Dewan Atlantik Utara, merumuskan suatu komitmen yang
menggariskan bahwa, sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui jalur
negosiasi langsung harus disampaikan dan dibahas dengan prosedur dan dalam
forum NATO sebelum dibawa ke organisasi internasional di luar NATO. Resolusi
tersebut juga menyebutkan bahwa Sekjen maupun negara-negara anggota memiliki
hak dan kewajiban untuk meminta perhatian dewan mengenai ancaman-ancaman yang
dapat mempengaruhi solidaritas dan efektifitas aliansi. Lebih lanjut, Sekjen
diberikan wewenang sebagai fasilitator yang dimandatkan untuk menyelenggarakan
penyelidikan, mediasi, atau arbitrasi bagi negara-negara anggota yang
berkonflik.
Pakta Warsawa yang didirikan oleh Uni Soviet
dan meliputi sebagian besar Eropa Timur, memiliki suatu wadah kerjasama ekonomi
yang didirikan pada 1949, yaitu Council for Mutual Economic Aid, namun tanpa
sebuah organ penyelesaian sengketa. Organisasi ini kemudian hancur seiring
runtuhnya Uni Soviet dan berakhirnya Perang Dingin dan digantikan oleh
Commonwealth of Independent States (CIS) yang dipimpin oleh Federasi Rusia.
Banyak Organisasi Regional lain yang
masing-masingnya memiliki prosedur penyelesaian sengketa tersendiri yang
dirumuskan dengan berpedoman pada perjanjian yang telah disepakati oleh
negara-negara anggotanya, seperti; Conference on Security and Cooperation in
Europe (CSCE) yang kemudian berubah menjadi Organization for Security and
Cooperation in Europe (OSCE); Organization of American States (OAS) dengan
ketentuan penyelesaian konflik yang tertuang jelas dalam Pakta Bogota;
Organization of African Union (OAU); dan Organization of the Islamic Conference
(OIC), yang masing-masingnya memiliki organ tersendiri dalam upaya penyelesaian
sengketa yang terjadi antara negara-negara anggotanya.
PERAN ORGANISASI REGIONAL DALAM MENYELESAIKAN
SENGKETA
Dalam menyelesaikan
sengketa internal kawasan, salah satu peran utama Organisasi Regional adalah
untuk menjadi wadah konsultasi, menyelenggarakan dan menyediakan suatu forum
negosiasi bagi negara-negara anggota baik dalam situasi konflik maupun dalam
kondisi yang berpotensi menimbulkan konflik. Peran ini secara nyata dapat
dilihat dalam Perang Cod, konflik batas perairan Inggris-Islandia yang meletus
pada 1961 dan 1976. Konflik pertama dapat diredakan melalui negosiasi yang
digagas oleh NATO. Konflik kedua berhasil diselesaikan melalui Pertemuan
Tahunan Menteri Luar Negeri Negara-Negara Anggota NATO yang diselenggarakan di
Oslo yang digagas oleh Menteri Luar Negeri Norwegia bersama Sekjen NATO kala
itu. Negosiasi ini berujung pada kesepakatan kedua negara untuk mengakhiri
pertikaian. Peran yang relatif sama juga tampak pada sengketa perbatasan
Aljazair-Maroko tahun 1963. Di sini, OAU membentuk suatu komisi ad hoc dan
menyelenggarakan beberapa pertemuan yang diikuti oleh kedua negara yang
bersengketa, bertujuan untuk membahas masalah penarikan pasukan, pengembalian
tawanan perang dan perbaikan hubungan diplomatik.
Organisasi Regional juga kadang berperan
sebagai mediator dalam konflik-konflik internal kawasan. Dengan wewenangnya,
Organisasi Regional merancang sebuah prosedur resolusi konflik untuk
menyelesaikan perselisihan antara negara-negara anggota. Contohnya; OAS yang
bertindak sebagai mediator dalam sengketa Honduras-Nicaragua pada tahun 1957
perihal keputusan arbitrase Raja Spanyol. Pasca pengaduan kedua negara yang
bersengketa, OAS menyelenggarakan sebuah pertemuan khusus dan meminta kedua
negara yang bersengketa untuk menghentikan tindakan-tindakan provokatif yang
dapat mempertajam konflik. OAS kemudian membentuk sebuah komite yang terdiri
dari perwakilan lima negara anggota yang bertugas untuk mempelajari sengketa
tersebut. Komite ini kemudian mengunjungi kedua negara dan meminta kedua negara
untuk menandatangani kesepakatan genjatan senjata dan penarikan pasukan
masing-masing. Komite kemudian juga ditugaskan untuk merumuskan prosedur
resolusi konflik untuk menyelesaikan sengketa ini. Walaupun pada akhirnya usaha
ini terbukti gagal, namun upaya mediasi yang dilakukan OAS berhasil meredakan
ketegangan yang ada. Upaya mediasi juga dilakukan oleh CSCE/OSCE dalam sengketa
wilayah Dneister pada tahun 1993. Di sini, CSCE sebagai mediator, menetapkan
otonomi bagi Dneister di bawah otoritas pemerintah Moldova dan penarikan
pasukan Rusia dari wilayah ini. Pada prakteknya, proses mediasi oleh Organisasi
Regional dapat didelegasikan kepada pihak-pihak tertentu yang dianggap mampu.
Seperti dalam sengketa Tanzania-Uganda tahun 1972, di mana Kepala Negara
Somalia diberi mandat sebagai mediator dengan didampingi oleh Sekjen OAU.
Organisasi regional juga dapat melakukan penyelidikan
terhadap konflik yang terjadi antara negara-negara anggotanya. Nantinya, hasil
penyelidikan ini akan digunakan untuk merumuskan resolusi konflik yang dianggap
paling efektif untuk diterapkan. Misalnya pada sengketa perbatasan
Bolivia-Paraguay tahun 1929. Penyelidikan dilakukan oleh The Chaco Commission
yang dibentuk oleh Conference of American States atas mandat yang diberikan
oleh OAS. Contoh lain, Inter-American Commission, yang ditugaskan untuk
menyelidiki penyebab sengketa Haiti-Republik Dominika tahun 1937.
Pengiriman Pasukan Penjaga Perdamaian
merupakan peran lain yang juga dimainkan oleh Organisasi Regional. Beberapa
contoh kasus; pengiriman pasukan penjaga keamanan CIS di Georgia pada masa
kekosongan pemerintah sipil tahun 1994; dikirimnya pasukan penjaga perdamaian
ECOWAS yang didukung oleh Dewan Keamanan PBB di Sierra Leone (1997), Ivory
Coast (2003), dan Liberia (2003); operasi penjaga perdamaian yang dilakukan
oleh CEMAC pada tahun 2002 menggantikan pasukan CEN-SAD yang telah berada di sana
sejak 2001; pasukan penjaga perdamaian yang dikirim oleh OAU ke Darfur, bagian
barat Sudan, untuk mendampingi peneliti-peneliti Uni Afrika yang berada di
sana.
BATAS KEMAMPUAN ORGANISASI REGIONAL
Keterikatan Organisasi Regional pada
batas-batas geografis kawasan melemahkan kemampuannya untuk menyelesaikan
konflik intra-regional hingga ke titik terendah. Dalam bahasa sederhana,
Organisasi Regional bukan pilihan yang tepat untuk meredakan konflik yang
terjadi antara negara anggotanya dengan negara anggota Organisasi Regional
lain. Faktanya, dalam konflik-konflik seperti ini, kehadiran Organisasi
Regional cenderung mempertajam konflik yang ada. Konflik Argentina- Inggris
dalam sengketa Falklands adalah contoh nyata dari kelemahan ini. Dalam kasus ini,
kedua pihak yang bertikai justru memanfaatkan keanggotaan mereka untuk
memobilisasi kekuatan dan mencari dukungan. Pada akhirnya, konflik ini harus
diselesaikan oleh PBB.
Organisasi Regional tidak memiliki hak untuk
ikut campur dalam konflik domestik negara-negara anggotanya, konflik seperti;
revolusi, perang sipil, dan peristiwa merusak lainnya. Mereka tidak memiliki
yurisdiksi untuk itu, mereka dirancang untuk mengatur dan menjembatani hubungan
antara negara-negara anggotanya, bukan mencampuri urusan internal negara-negara
anggotanya. Hal ini akan sangat berpengaruh apabila konflik internal tersebut
menyebar hingga ke negara tetangga dan pada akhirnya mengancam stabilitas
keamanan kawasan. Dapat dilihat, Ketidakmampuan dan keengganan Organisasi
Regional untuk terlibat dalam urusan-urusan domestik negara anggota pada
akhirnya akan membahayakan eksistensi Organisasi Regional itu sendiri.
Loyalitas dan solidaritas negara anggota yang
sangat dipengaruhi oleh hubungan antar negara, kepentingan nasional dan kesamaan
atau perbedaan latar belakang budaya dalam sebuah Organisasi Regional
seringkali menghalangi upaya penyelesaian sengketa yang ditangani oleh
Organisasi Regional tersebut. Memang, dalam perjanjian kerjasama mereka,
hubungan negara-negara anggota terlihat kuat dan solid. Namun pada prakteknya,
kesatuan yang ada antara mereka tidak sekokoh seperti yang tertuang dalam
konstitusi mereka. Dalam kasus Falklands, negara-negara anggota OAS yang
menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa nasionalnya, lebih mendukung Inggris
daripada Argentina, yang pada akhirnya menghancurkan kebulatan suara organisasi
tersebut. Kasus lain, perbedaan latar belakang budaya -dalam hal ini, ideologi-
menyebabkan dihentikannya Pertemuan Tahunan Dewan OAU tahun 1982. Hal ini disebabkan
oleh perbedaan tajam yang ada antara negara-negara anggota berhaluan moderat
dengan negara-negara anggota berhaluan radikal.
Minimnya dana dan keterbatasan sumberdaya
Organisasi Regional menyebabkan Organisasi Regional menjadi sangat bergantung
pada sumberdaya yang dimiliki oleh negara anggota dalam setiap upaya
penyelesaian konflik. Hal ini jelas akan membatasi peran dan ruang gerak
Organisasi Regional tersebut. Contoh nyata dari kasus ini adalah kegagalan
pasukan penjaga perdamaian OAU yang dikirim ke Chad pada tahun 1982, di mana
kekurangan logistik dan finansial merupakan salah satu faktor utama kegagalan
misi tersebut.
ORGANISASI REGIONAL DAN AJUDIKASI
Ajudikasi adalah proses pengajuan penyelesaian
sengketa antara dua negara yang tidak mampu diredakan oleh prosedur resolusi
konflik yang dirumuskan oleh Organisasi Regional ke lembaga peradilan yang
lebih tinggi seperti Mahkamah internasional (International Court of Justice).
Hal ini didasarkan pada Piagam PBB, Bab VI: mengenai Penyelesaian Sengketa
Secara Damai, Bab VIII: mengenai Kerjasama Regional, dan Bab XIV: mengenai
Mahkamah Internasional. Proses ajudikasi hanya dapat dilakukan apabila
pihak-pihak yang bertikai sepakat untuk mengajukan sengketa mereka ke lembaga
peradilan yang lebih tinggi, dan tidak terdapat pelanggaran terhadap isi dari
regulasi regional, perjanjian regional atau prosedur regional yang telah
disepakati bersama.
Proses di atas dapat dilihat dari sengketa
Honduras-Nicaragua dalam kasus Border and Transborder Armed tahun 1988. Kasus
ini dibawa ke Mahkamah Internasional oleh Nikaragua, yang menuduh bahwa
Honduras memberi ruang bagi kelompok bersenjata untuk beroperasi di wilayah
mereka. Sebelum menyentuh kasus ini, Mahkamah Internasional terlebih dahulu
meninjau apakah pengajuan sengketa bertentangan dengan prosedur regional yang
ada, mendengarkan pendapat negara-negara anggota yang keberatan dengan
pengajuan tersebut, selanjutnya meminta persetujuan Honduras atas sengketa yang
diajukan oleh Nicaragua, untuk kemudian diselesaikan. Kasus lain yang juga
berkaitan yaitu sengketa Kamerun-Nigeria dalam kasus The Land and Maritime
Boundary, Kasus ini dibawa ke Mahkamah Internasional oleh Kamerun. Di sini,
Mahkamah Internasional sekali lagi harus mempertimbangkan peran prosedur
regional dalam sengketa teritotial dan persetujuan kedua belah pihak yang
bertikai sebelum memulai proses penyelesaian konflik secara damai.
Dalam kaitannya dengan ajudikasi, Organisasi
Regional dapat memberikan dukungan bagi berjalannya proses ajudikasi, yaitu dengan
memberikan tekanan dan membujuk pihak-pihak yang bertikai untuk menyelesaikan
sengketa mereka melalui jalur ajudikasi, kemudian mendorong pihak-pihak yang
bertikai untuk melaksanakan keputusan yang telah ditetapkan bagi mereka, atau
membantu mereka untuk melaksanakannya. Hubungan ini diilustrasikan dengan baik
melalui sengketa Honduras-Nicaragua pada tahun 1957 perihal keputusan arbitrase
Raja Spanyol. Dalam kasus ini, OAS menjalankan fungsinya dengan membujuk
Honduras dan Nikaragua untuk mengajukan sengketa mereka ke Mahkamah
Internasional, kemudian, saat Mahkamah Internasional telah mengeluarkan
keputusan, OAS membantu mereka melaksanakan putusan tersebut.
ORGANISASI REGIONAL DAN PBB
Dalam Piagam PBB, masalah kerjasama regional
dijelaskan dalam Bab VIII, Piagam PBB, Pasal. 52-54, yang secara umum
menyebutkan bahwa tidak ada penolakan dari PBB bagi eksistensi Organisasi
Regional, sejauh Organisasi Regional tersebut dapat menciptakan, menjaga dan
memelihara keamanan dan perdamaian dunia khususnya di tingkat regional sesuai
dengan apa yang tertuang dalam Bab I, Piagam PBB, Pasal. 1-2, serta berupaya
penuh untuk menerapkan prinsip-prinsip yang tertuang dalam Bab VI, Piagam PBB,
Pasal. 33-38, dengan bantuan Dewan Keamanan. Dalam bab yang sama, wewenang Organisasi
Regional dibatasi, seperti dijelaskan dalam Bab VIII, Pasal. 53, yang
menyatakan bahwa ‘tidak ada pengambilan tindakan yang boleh dilakukan di bawah
kesepakatan regional atau oleh badan regional tanpa otorisasi Dewan Keamanan’.
Akan tetapi pada masa Perang Dingin, tugas
Organisasi Regional sebagai perpanjangan tangan dewan keamanan tidak berjalan
efektif disebabkan oleh pertentangan dua negara adidaya yang saling menerapkan
prinsip self-serving dalam menafsirkan ketentuan-ketentuan di atas. Dua negara
ini memanfaatkan Organisasi Regional sebagai basis penyebaran pengaruh mereka.
Ini dibenarkan oleh Sekjen PBB Boutros-Boutros Ghali melalui laporannya
dihadapan Dewan Keamanan Pada tahun 1992 yang berjudul An Agenda for Peace. Ia
menyebutkan bahwa, ’Perang Dingin mengganggu penerapan Bab VIII piagam PBB, dan
bahwa di era tersebut kerjasama regional tidak mampu melakukan upaya
penyelesaian sengketa dengan cara yang telah diatur dalam Piagam.’
Namun dengan berlalunya Perang Dingin,
kemungkinan kerjasama antara Organisasi Regional dengan PBB kembali terbuka.
Dorongan ini timbul dari argumen Sekjen yang menyebutkan bahwa badan-badan
regional memiliki potensi yang dapat dimanfaatkan dalam pemenuhan fungsi
pemeliharaan keamanan seperti yang tertuang dalam An Agenda for Peace. Antara
lain; diplomasi preventif, pengiriman pasukan penjaga perdamaian, rekonsiliasi
pasca-konflik dan pembangunan.
Sebagaimana telah diindikasikan oleh Sekjen,
kerjasama antara Organisasi Regional dan PBB sangat bermanfaat terutama dalam
situasi yang membutuhkan pasukan penjaga perdamaian atau aksi serupa. Sejumlah
kasus menunjukkan bagaimana dua lembaga ini dapat melakukan fungsi yang saling
melengkapi. Misalnya; Pengiriman pasukan PBB (ONUCA) oleh Dewan Keamanan saat
proses Contadora berlangsung di Amerika Tengah; dukungan yang diberikan oleh
PBB kepada Pasukan Penjaga Perdamaian yang dikirim oleh ECOWAS dalam krisis
Liberia; dan koordinasi antara pasukan CIS dengan Tim Pemantau PBB yang diawasi
oleh Dewan Keamanan di Georgia; serta dukungan PBB kepada OAS dalam
penyelesaian sengketa Haiti.
Beberapa tahun terakhir, Kerjasama antara PBB
dan Organisasi Regional menjadi semakin luas dengan banyaknya resolusi yang
dikeluarkan oleh Dewan Keamanan. Namun di sisi lain, meskipun kerjasama ini
sangat berharga, keterlibatan Dewan Keamanan hanya akan diperlukan jika
langkah-langkah regional tidak memadai. Organisasi Regional, seperti yang telah
dilihat, kadang memberikan konstribusi kostruktif terhadap penyelesaian
sengketa tanpa bantuan dari luar. Mendorong organisasi regional untuk
menggunakan sumber daya mereka sendiri memungkinkan PBB untuk memusatkan
perhatiannya pada sengketa-sengketa intra-regional, dan dengan demikian
tercipta suatu divisi kerja yang bermanfaat. Stigma bahwa Dewan Keamanan harus
selalu terlibat, sebaliknya, akan cenderung menghambat tugas dan mengecilkan
tanggung jawab Organisasi Regional.
Organisasi Regional dan Internasional
Organisasi internasional adalah suatu bentuk
dari gabungan beberapa negara atau bentuk unit fungsi yang memiliki tujuan
bersama mencapai persetujuan yang juga merupakan isi dari perjanjian atau
charter. Sedangkan Organisasi Regional adalah organisasi yang luas wilayahnya
meliputi beberapa negara tertentu saja.
Contoh organisasi – organisasinya adalah :
UN =
United Nation = PBB (1945)
UNICEF = United Nations International Childrens Emergency Fund (1946),
namun namanya diganti setelah thn 1953 menjadi: United Nations Children’s Fund.
UNESCO = the United Nations Educational, Scientific and Cultural
Organization (16 November 1945)
UNCHR = United Nations Commission on Human Rights (2006)
UNHCR = Uited Nations High Commissioner for Refugees (14 Desember 1950)
UNDPR = The United Nations Division for Palestinian Rights (2 Desember 1977)
UNSCOP = The United Nations Special Committee on Palestine (May 1947,
oleh 11 negara)
WHO
= World Health Organization (7 April 1948)
IMF
= International Monetary Fund (Juli 1944, 180 negara)
10.
NATO = North Atlantic Treaty Organisation (4 April 1949)
11. NGO
= Non-Governmental Organizations .Dalam bahasa Indonesia Lembaga Swadaya
12.
Masyarakat – LSM, yg didirikan oleh perorangan atau per-group dan tdk
terikat oleh pemerintah.
13.
GREENPEACE (40 negara, dari Europe, State of America, Asia, Africa dan
Pacific, semenjak 1971).
14.
AMNESTY International (1961, memiliki sekitar 2,2 juta anggota, dari 150
negara, organisasi yg membantu menghentikan penyelewengan/pelecehan hak azasi
manusia)
15. WWF
= the World Wildlife Fund (1985, Memiliki hampir 5 juta pendukung, distribusi
dari lima benua, memiliki perkantoran/perwakilan di 90 negara).
16. G8
= Group of Eight, kelompok negara termaju di dunia. Sebelumnya G6 pd thn 1975,
kemudian dimasuki oleh Kanada 1976 (Perancis, Jerman, Italia, Jepang, Britania
Raya, Amerika Serikat, Kanada dan Rusia (tidak ikut dalam seluruh acara), serta
Uni Eropa.
17. EU
= The European Union (27 negara anggota, 1 november 1993)
18.
DANIDA = Danish International Development Assistance (Organisasi yg memberikan
bantuan kepada negara2 miskin, pengungsi, bencana alam)
19.
ICRC = International Committee of the Red Cross (1863) = Palang Merah,
gerakan bantuan kemanusiaan saat bencana alam atau peperangan.
20.
OPEC = Organization of the Petroleum Exporting Countries (1960, anggota
13 negara, termasuk Indonesia)
21.
ASEAN = Association of Southeast Asian Nations = Perhimpunan
Bangsa-bangsa Asia Tenggara (PERBARA) ( Dibentuk 8 Agustus 1967, memiliki 10
negara anggota, Timor Leste dan Papua new Guinea hanya sebagai pemantau, dan
masih mempertimbangkan akan menjadi anggota)
REFERENSI
http://timokomit.wordpress.com/2010/10/09/pengertian-organisasi-serta-macam-macamnya/
Merrills J. G., International Dispute
Settlement, New York: Cambridge University Press, 2005.